Foto Dinding: Kemunafikan
Rani, Maharani sambil berkacak pinggang memandangi foto diri dan suaminya yang baru saja dia gantungkan di dinding rumahnya. Foto mereka yang sedang berpelukan dengan mesra bertanggal 15 Oktober 2001 di sebuah kamar hotel di Jakarta. Foto itu diambil ketika masih pacaran. Di kamar hotel itulah mereka pertamakali bercumbu sambil menanggalkan semua pakaian. Mereka menghabiskan liburan tiga hari tiga malam di kamar hotel, hanya keluar kamar pada malam hari untuk makan malam. Pagi hari setelah sarapan pagi, Rani selalu memasukkan lima sendok madu ke dalam botol kecil dari restaurant hotel dan membawanya ke dalam kamar, dan di kamar, sambil telanjang, Rani meneteskan madu tersebut di atas payudaranya dan meminta Pangestu, pacarnya menjilati payudaranya.
Masa itu telah berlalu, Rani sudah melahirkan empat anak. Selama hampir sepuluh tahun mereka tinggal serumah dan tetap saja sulit buat Rani dan Pangestu untuk sejalan. Sering dan teramat sering mereka bertengkar, sehingga kata maaf menjadi barang antik. Pangestu lebih memilih diam dan Rani lebih memilih untuk merumpi dengan teman-temannya.
Rani, cantik dan luwes dalam bergaul, sedangkan Pangestu hanya pria rata-rata. Kelebihan Rani itu membuat Pangestu semakin was-was dan membuatnya marah karena pikirannya yang sering membayangkan Rani sedang ditiduri oleh pria lain. Tiap kali pikiran itu muncul, darahnya mendidih dan wajahnya merah padam.
Buat Pangestu, semua perempuan itu gila harta dan kemewahan. Perempuan manapun akan rela meninggalkan pasangannya apabila mendapatkan pria yang lebih kaya, apalagi lebih tampan. Perempuan yang telah mengenal uang tidak mempunyai cinta lagi. Pangestu selalu berprinsip, bahwa perempuan seperti monyet dan opportunitis. Selama belum mendapatkan pria yang lebih baik dia akan bersama dengan pasangannya dan bila sudah mendapatkannya, maka dia akan meninggalkan pasangannya. Bila tidak memungkinkan, maka dia akan selingkuh sambil menikmati kemewahan pemberian pria selingkuhannya.
Dimata Pangestu, Rani mendekati karakter monyet. Filosofi monyet itu membuat mereka sering bertengkar. Hubungan sex pun menjadi hambar dan terjadi hanya sekali dalam dua bulan, itupun hanya sekejap. Hanya sekedar menumpahkan sperma di perut Rani dan tertidur pulas dengan raut wajah biasa saja.
Malam itu mereka kembali bertengkar hanya gara-gara hal sepele. Pangestu menyalahkan Rani yang pulang malam dari rumah temannya. Mereka hanya bertengkar dan tidak pernah bertukar pendapat dari hati ke hati. Saling menyalahkan dan selalu merasa diri paling benar. Dalam sepuluh tahun kejadian serupa selalu terulang tanpa ada titik temu. Saking seringnya terjadi perselisihan yang tidak terselesaikan membuat mereka berdua saling tidak mengenal satu sama lain. Pangestu tidak memahami seperti apa kemauan Rani dan sebaliknya.
Seperti biasa, Pangestu diam dan Rani menonton TV sesekali memeriksa komentar di account facebooknya. Malam itu, mereka tidur terpisah. Jam dua subuh, Rani terbangun dan memandangi foto mereka berdua yang terlihat mesra yang dia pajang sore tadi. Dia meneteskan air mata. Betapa kebahagiaan sepuluh tahun yang lalu sepertinya menguap begitu saja. Dia bertanya dalam hati, 'Apakah situasi rumah tangganya yang sedemikian akibat perbuatan sex yang terlalu dini ?'. 'Apakah ini hukuman dari Tuhan ?'
Semakin dia memperhatikan foto itu, semakin membuatnya menangis. Kemudian dia mengambil kursi dan menjangkau foto dinding itu. Sambil duduk di kursi dia membuka frame foto itu dan mengambil lembar foto mereka dan membakarnya.
Rani tidak ingin foto itu menjadi gambaran kemunafikan hubungan mereka. 'Sudah, sudah saya akan jalani semua ini apa adanya', Rani berkata pelan.
Masa itu telah berlalu, Rani sudah melahirkan empat anak. Selama hampir sepuluh tahun mereka tinggal serumah dan tetap saja sulit buat Rani dan Pangestu untuk sejalan. Sering dan teramat sering mereka bertengkar, sehingga kata maaf menjadi barang antik. Pangestu lebih memilih diam dan Rani lebih memilih untuk merumpi dengan teman-temannya.
Rani, cantik dan luwes dalam bergaul, sedangkan Pangestu hanya pria rata-rata. Kelebihan Rani itu membuat Pangestu semakin was-was dan membuatnya marah karena pikirannya yang sering membayangkan Rani sedang ditiduri oleh pria lain. Tiap kali pikiran itu muncul, darahnya mendidih dan wajahnya merah padam.
Buat Pangestu, semua perempuan itu gila harta dan kemewahan. Perempuan manapun akan rela meninggalkan pasangannya apabila mendapatkan pria yang lebih kaya, apalagi lebih tampan. Perempuan yang telah mengenal uang tidak mempunyai cinta lagi. Pangestu selalu berprinsip, bahwa perempuan seperti monyet dan opportunitis. Selama belum mendapatkan pria yang lebih baik dia akan bersama dengan pasangannya dan bila sudah mendapatkannya, maka dia akan meninggalkan pasangannya. Bila tidak memungkinkan, maka dia akan selingkuh sambil menikmati kemewahan pemberian pria selingkuhannya.
Dimata Pangestu, Rani mendekati karakter monyet. Filosofi monyet itu membuat mereka sering bertengkar. Hubungan sex pun menjadi hambar dan terjadi hanya sekali dalam dua bulan, itupun hanya sekejap. Hanya sekedar menumpahkan sperma di perut Rani dan tertidur pulas dengan raut wajah biasa saja.
Malam itu mereka kembali bertengkar hanya gara-gara hal sepele. Pangestu menyalahkan Rani yang pulang malam dari rumah temannya. Mereka hanya bertengkar dan tidak pernah bertukar pendapat dari hati ke hati. Saling menyalahkan dan selalu merasa diri paling benar. Dalam sepuluh tahun kejadian serupa selalu terulang tanpa ada titik temu. Saking seringnya terjadi perselisihan yang tidak terselesaikan membuat mereka berdua saling tidak mengenal satu sama lain. Pangestu tidak memahami seperti apa kemauan Rani dan sebaliknya.
Seperti biasa, Pangestu diam dan Rani menonton TV sesekali memeriksa komentar di account facebooknya. Malam itu, mereka tidur terpisah. Jam dua subuh, Rani terbangun dan memandangi foto mereka berdua yang terlihat mesra yang dia pajang sore tadi. Dia meneteskan air mata. Betapa kebahagiaan sepuluh tahun yang lalu sepertinya menguap begitu saja. Dia bertanya dalam hati, 'Apakah situasi rumah tangganya yang sedemikian akibat perbuatan sex yang terlalu dini ?'. 'Apakah ini hukuman dari Tuhan ?'
Semakin dia memperhatikan foto itu, semakin membuatnya menangis. Kemudian dia mengambil kursi dan menjangkau foto dinding itu. Sambil duduk di kursi dia membuka frame foto itu dan mengambil lembar foto mereka dan membakarnya.
Rani tidak ingin foto itu menjadi gambaran kemunafikan hubungan mereka. 'Sudah, sudah saya akan jalani semua ini apa adanya', Rani berkata pelan.