Berunding Dengan Kematian
Seandainya saya tau persis waktu kematian , maka saya akan leluasa membuat rencana jangka panjang dan jangka pendek sepanjang umur saya, yang kemudian saya break down menjadi rencana harian.
Bisa dibayangkan, seperti apa dunia ini, jikalau manusia mengetahui kapan dia akan mati. Yang pasti, kekacauan dan kerusakan akan menjadi pemandangan setiap detik, karena manusia pasti akan memuaskan kebutuhannya dimasa-masa produktifnya dengan berbagai cara dan intrik dan kemudian mengendur disaat-saat kematiannya. Kita, manusia, beruntung tidak tau apa-apa tentang masa depan, sehingga kita selalu waspadah datangnya kematian. Ketidaktahuan itu, membuat manusia terkadang menjadi sadar, betapa manusia belum berdaya dibandingkan dengan sang pencipta nyawa.
Sulit, dan mustahil untuk berunding dengan kematian. Manusia hanya pasrah datangnya waktu yang paling tepat untuk kemudian mati. Kematian tidak pandang bulu, kematian tidak mengenal belas kasihan, kalau sudah waktunya, apapun yang terjadi, kematian akan sangat tegas bertindak. Tidak perduli akan ratapan anak-anak yang ditinggalkannya, tangisan darah sekalipun, kematian tetap bergeming. Kematian tidak memperhitungkan utang yang belum lunas, harta yang masih belum habis dinikmati. Mati ya sudah mati.
Tapi, kematian, tidak selalu hanya mendatangkan kesedihan dan pertikaian, bisa pula mendatangkan perdamaian. Kematian menciptakan kenangan yang abadi.
Memandang tubuh kaku tanpa nyawa membuat saya menjadi tidak berarti. Suatu hari, saya mengatakan kepada istri saya, "Suatu saat, saya akan membuat tato di dada saya berupa tulisan". Tulisannya adalah :
Saya tidak ingin menyusahkan orang-orang terdekat saya, sehingga mereka berbuat dosa dalam ketidakberdayaan saya kelak. Karena saya mengerti, cinta manusia, cinta dari seorang istri, cinta dari seorang anak, tetap saja terbatas.
Bisa dibayangkan, seperti apa dunia ini, jikalau manusia mengetahui kapan dia akan mati. Yang pasti, kekacauan dan kerusakan akan menjadi pemandangan setiap detik, karena manusia pasti akan memuaskan kebutuhannya dimasa-masa produktifnya dengan berbagai cara dan intrik dan kemudian mengendur disaat-saat kematiannya. Kita, manusia, beruntung tidak tau apa-apa tentang masa depan, sehingga kita selalu waspadah datangnya kematian. Ketidaktahuan itu, membuat manusia terkadang menjadi sadar, betapa manusia belum berdaya dibandingkan dengan sang pencipta nyawa.
Sulit, dan mustahil untuk berunding dengan kematian. Manusia hanya pasrah datangnya waktu yang paling tepat untuk kemudian mati. Kematian tidak pandang bulu, kematian tidak mengenal belas kasihan, kalau sudah waktunya, apapun yang terjadi, kematian akan sangat tegas bertindak. Tidak perduli akan ratapan anak-anak yang ditinggalkannya, tangisan darah sekalipun, kematian tetap bergeming. Kematian tidak memperhitungkan utang yang belum lunas, harta yang masih belum habis dinikmati. Mati ya sudah mati.
Tapi, kematian, tidak selalu hanya mendatangkan kesedihan dan pertikaian, bisa pula mendatangkan perdamaian. Kematian menciptakan kenangan yang abadi.
Memandang tubuh kaku tanpa nyawa membuat saya menjadi tidak berarti. Suatu hari, saya mengatakan kepada istri saya, "Suatu saat, saya akan membuat tato di dada saya berupa tulisan". Tulisannya adalah :
'Bila Anda menemukan saya dalam keadaan koma dan tidak berdaya lebih dari satu bulan, Dengan segala hormat, jangan berusaha membangunkan saya'
Saya tidak ingin menyusahkan orang-orang terdekat saya, sehingga mereka berbuat dosa dalam ketidakberdayaan saya kelak. Karena saya mengerti, cinta manusia, cinta dari seorang istri, cinta dari seorang anak, tetap saja terbatas.