Troy
'Anda siapa ?' tanya Achiles dalam keterkejutannya sambil mundur beberapa langkah dari depan lelaki tua yang telah mencium tangannya beberapa kali itu.
Lelaki tua itu menjawab 'Aku Priam, raja Troy'.
'Dan aku telah mencium tangan orang yang telah membunuh anak ku Hector, dan aku datang ke sini untuk mengambil jasad anakku kembali'.
'Tapi itu tidak mengubah apapun !', lanjut Achiles.
'Meskpiun tidak mengubah apapun, Aku hanya ingin mengambil jasad anakku Hector untuk aku semayamkan dengan hormat'.
'Ijinkanlah Aku mengambilnya kembali, Aku mohon dengan hormat'.
Begitulah kira-kira sekilas percakapan antara Priam raja Troy dengan Achiles di luar benteng Troy ketika Priam bermaksud untuk mengambil jasad Hector yang dibunuh oleh Achiles dalam pertarungan satu lawan satu. Achiles bertarung dan membunuh Hector karena telah membunuh sepupu Achiles yang menyamar sebagai Achiles dalam sebuah penyerbuan pasukan Agagemon yang dipimpin oleh Hector. Tidak sulit buat Achiles seorang kesatria gagah berani yang berambisi mencatatkan namanya dalam sejarah Yunani untuk mengalahkan Hector putra mahkota Troy. Kematian Hector sangatlah tragis, bagaimana tidak, Achiles yang telah dipenuhi amarah menyeret jasad Hector dengan kereta kudanya disaksikan oleh istri dan ayahnya Priam sampai ke base camp dan Achiles telah menghancurkan dan merendahkan kebesaran kerajaan Troy !
Sulit untuk membayangkan kepedihan hati seorang istri melihat suaminya diperlakukan sedemikan rupa, perlakuan yang tidak menunjukkan rasa hormat sedikitpun. Tak bisa dilukiskan hancurnya hati seorang ayah yang menyaksikan jasad penerusnya diseret dengan tidak tidak menunjukkan rasa belas kasih, yang seharusnya disemayamkan dengan cara yang agung layaknya seorang putra mahkota.
Namun Priam menunjukkan kebesarannya dengan mendatangi camp Achiles bahkan mencium tangannya berkali-kali sebagai rasa hormat kepada musuh. Butuh waktu buat Priam untuk melakukan itu. Priam terlebih dahulu berdamai dengan dirinya sendiri, Priam terlebih dahulu menanggalkan mahkota dan jubah kebesaran kerajaan Troy dan Priam memberi waktu buat dirinya sendiri untuk berdiam diri sebelum dia menemui Achiles si pembunuh anaknya. Priam telah mencatatkan namanya sebagai orang besar yang mampu menaklukkan dirinya sendiri untuk memaafkan dan mengajarkan rasa hormat kepada musuh.
Dalam perjalanan dari Surabaya menuju Jombang, saya dan seorang teman mendengarkan sebuah cerita dari 'audio book' yang dituturkan dengan mendayu-dayu oleh Andrie Wongso, yang menceritakan tentang seorang guru dan muridnya dalam memahami perihal menyakiti dan memaafkan. Sang guru meminta kepada muridnya dalam 7 hari kedepan, bahwa setiap kali dia menyakiti seseorang, maka dia harus menancapkan paku pada sebuah batang kayu. Murid itu pun melakukannya setiap kali dia menyakiti seseorang. Selang 7 hari, sang guru menyuruh muridnya kembali mencabut paku yang tadi dia tancapkan pada batang kayu tersebut setiap kali dia memaafkan orang yang telah dia sakiti sebelumnya dan seterusnya sampai semua paku tercabut.
Sang guru pun berkata kepada muridnya. 'Perhatikanlah kayu tersebut, setiap kali kamu menancapkan paku dan mencabutnya kembali, maka paku itu akan meninggalkan lubang yang tidak bisa diperbaiki lagi'. Di sini sang guru ingin menjelaskan kepada muridnya bahwa menyakiti seseorang akan selalu membuat bekas di hati yang tidak bisa dihilangkan kembali.
Di hari sabtu ini, di malam minggu yang kelabu ini, siapakah yang Anda jadikan 'idola' baru ? Priam atau sang Guru ?. Priam mengajarkan berdamai dengan diri sendiri , memaafkan dan merendahkan hati dan Guru mengajarkan untuk tidak sesekali menyakiti sesama karena akan meninggalkan jejak dalam hati.
Tidakkah bisa sakit hati dihapus tanpa bekas dalam hati dan tidak perlu membiarkan pikiran untuk mengelana kembali kemasa lalu ?. Pikirankah yang seharusnya mengalahkan kekerasan hati atau kekerasan hati yang mempermainkan pikiran ?.
Priam atau Sang Guru ? atau Tit for Tat ?