Native Speaker: Belagak Jadi Boss
Guru bahasa inggris saya tidak satupun sanggup berbicara seperti layaknya native speaker. Namun demikian, mereka tetap mahir dalam bertutur, menjalin kata demi kata dengan sempurna sehingga saya selalu ingin seperti mereka dalam bertutur. Sayangnya, pada waktu itu saya tidak pernah berbicara langsung dengan penutur asli bahasa inggris sehingga saya, sampai wisuda, dialek saya masih tetap dialek melayu. Teman saya, mengatakan, berkomunikasi dengan bahasa inggris cukup dengan keahlian memadankan kata sesuai dengan tata bahasa dan dialek tidak terlalu penting. Karena yang menjadi tujuan berbahasa adalah adanya saling pengertian dengan kalimat yang diucapkan.
Hingga suatu waktu, teman baru, ternyata berasal dari kampung yang sama dengan saya, bergabung di perusahaan ditempat saya bekerja pada tahun 2000an, tentu tahun 2000an setelah masehi. Pada hari pertama dia bekerja, sore hari, boss saya yang bernama Ioka-San, mengajak kami makan malam sebagai ucapan selamat datang buat teman saya itu. Tiba pada kesempatan ramah tamah, teman baru saya itu berbicara dengan bahasa inggris yang membuat bulu kuduk saya berdiri. Bukan karena ketakutan seperti melihat setan akan tetapi karena kefasihan dan dialek dia bertutur dalam bahasa inggris. Sempurna dalam tata bahasa dan dialek yang sempurna. Saya mulai berguru bahasa inggris kepada dia. Meniru cara dia dalam bertutur dan mempelajari cara dia merangkai kalimat. Pada setiap kesempatan, kami selalu berbicara dengan bahasa inggris dan dia selalu mengkoreksi setiap kesalahan saya. Hanya satu pesan dia, 'Berbicaralah seperti layaknya seorang bule'. 'Kalau kamu ingin seperti penutur asli, maka berbicaralah seperti layaknya penutur asli'.
Apa yang dia maksud berbicara seperti orang bule ?. Kalau Anda ingin cepat mengerti maksudnya, simaklah gaya bicara Cinta Laura. Mungkin Anda senang atau bahkan muak kalau mendengar Cinta Laura berbicara. Misalnya, 'Pangkalan Ojheck', 'Person Bijak, Chaat Pajhak' , 'Stop Syampai Rambyu Next', 'Hachi-Hachi Pejhalan Khaki', 'Charefull Busway', 'Anda hanya live one kali chaja, Jadi belhachi-hachilah', 'Pelmacha Hijau'.
Terkadang, untuk menyamai atau melebihi keahlian seseorang maka perlu sikap impersonator (peniru seseorang). Dalam berbahasa, kita perlu untuk berbahasa meniru dialek penutur asli. Nah, bagaimana dengan bekerja di kantor ?. Apakah perlu menjadi impersonator ?. Untuk menjadi boss, perlukah berlagak jadi boss?. Dalam hal tertentu, pasti perlu. Akan tetapi dengan bersikap bukan belagak. Kita perlu bekerja bukan hanya seperti 'boss', bila perlu bersikap seperti pemilik perusahaan tersebut. Pesan ini saya sampaikan buat kitcha-kithca yang 'hobby' bekerja sama orang lain.
Dalam tulisan saya yang terakhir, saya mempunyai tokoh imaginer yang bernama Sutardjo. Tokoh imaginer saya inilah yang paling tepat menjadi contoh, penyalahgunaan kata layaknya(sepatutnya) menjadi belagak. Sutardjo, meskipun sebenarnya tidak ada ketulusan dalam bekerja, dia berusaha tampak loyal dimata pimpinan dengan bersikap layaknya paling loyal. Mengatur sana sini, mengobok-obok sana sini, perintah sana-sini. Layaknya (lagaknya) seperti boss. Tingkah yang berlebihan seperti itulah yang disebut dengan 'impersonator big boss' yang kebablasan.
Hingga suatu waktu, teman baru, ternyata berasal dari kampung yang sama dengan saya, bergabung di perusahaan ditempat saya bekerja pada tahun 2000an, tentu tahun 2000an setelah masehi. Pada hari pertama dia bekerja, sore hari, boss saya yang bernama Ioka-San, mengajak kami makan malam sebagai ucapan selamat datang buat teman saya itu. Tiba pada kesempatan ramah tamah, teman baru saya itu berbicara dengan bahasa inggris yang membuat bulu kuduk saya berdiri. Bukan karena ketakutan seperti melihat setan akan tetapi karena kefasihan dan dialek dia bertutur dalam bahasa inggris. Sempurna dalam tata bahasa dan dialek yang sempurna. Saya mulai berguru bahasa inggris kepada dia. Meniru cara dia dalam bertutur dan mempelajari cara dia merangkai kalimat. Pada setiap kesempatan, kami selalu berbicara dengan bahasa inggris dan dia selalu mengkoreksi setiap kesalahan saya. Hanya satu pesan dia, 'Berbicaralah seperti layaknya seorang bule'. 'Kalau kamu ingin seperti penutur asli, maka berbicaralah seperti layaknya penutur asli'.
Apa yang dia maksud berbicara seperti orang bule ?. Kalau Anda ingin cepat mengerti maksudnya, simaklah gaya bicara Cinta Laura. Mungkin Anda senang atau bahkan muak kalau mendengar Cinta Laura berbicara. Misalnya, 'Pangkalan Ojheck', 'Person Bijak, Chaat Pajhak' , 'Stop Syampai Rambyu Next', 'Hachi-Hachi Pejhalan Khaki', 'Charefull Busway', 'Anda hanya live one kali chaja, Jadi belhachi-hachilah', 'Pelmacha Hijau'.
Terkadang, untuk menyamai atau melebihi keahlian seseorang maka perlu sikap impersonator (peniru seseorang). Dalam berbahasa, kita perlu untuk berbahasa meniru dialek penutur asli. Nah, bagaimana dengan bekerja di kantor ?. Apakah perlu menjadi impersonator ?. Untuk menjadi boss, perlukah berlagak jadi boss?. Dalam hal tertentu, pasti perlu. Akan tetapi dengan bersikap bukan belagak. Kita perlu bekerja bukan hanya seperti 'boss', bila perlu bersikap seperti pemilik perusahaan tersebut. Pesan ini saya sampaikan buat kitcha-kithca yang 'hobby' bekerja sama orang lain.
Dalam tulisan saya yang terakhir, saya mempunyai tokoh imaginer yang bernama Sutardjo. Tokoh imaginer saya inilah yang paling tepat menjadi contoh, penyalahgunaan kata layaknya(sepatutnya) menjadi belagak. Sutardjo, meskipun sebenarnya tidak ada ketulusan dalam bekerja, dia berusaha tampak loyal dimata pimpinan dengan bersikap layaknya paling loyal. Mengatur sana sini, mengobok-obok sana sini, perintah sana-sini. Layaknya (lagaknya) seperti boss. Tingkah yang berlebihan seperti itulah yang disebut dengan 'impersonator big boss' yang kebablasan.
Di kaca belakang mobil sedan yang pernah saya temui di Bekasi ada tertulis 'Sudah Adilkah Saya ?'. Ketika saya baca, kalimat yang terbaca itu serta merta menjadi sebuah pertanyaan kepada diri saya sendiri. 'Sudah Adilkah Saya ?', dan saya selalu dengan cepat menjawab pertanyaan itu dalam hati, 'Belum, belum, saya belum adil'. Untuk menghindari sikap seperti Sutardjo, ada baiknya kita membuat pertanyaan serupa buat diri kita sendiri untuk mengetahui sejauh mana kita telah mencapai sesuatu. Misalnya dengan pertanyaan, ' Sudah loyalkah saya ?', 'Sudah disiplin kah saya?'. 'Sudah jujurkah saya?'. 'Sudah baik kah saya?'. Kalau Anda menjawab pertanyaan Anda sendiri dengan jawaban 'Iya', maka Anda akan tau siapa diri Anda sebenar-benarnya.
Sorry, kalau tulichan ini tcerlalu pendhuek, because I, syedang tchidak mood untyuk writing something.