Sutardjo: Kebelet Jadi Direktur Utama

Sutardjo bekerja di sebuah pabrik pengolahan pakan ternak di Jakarta Utara, sebuah perusahaan lokal. Sutardjo baru bekerja tiga tahun di perusahaan itu dengan posisi Manager Internal Audit. Sutardjo sangat berambisi menjadi Direktur Utama di perusahaan itu, sehingga dia selalu bersikap bahwa dia adalah seorang karyawan yang paling pantas untuk menjadi seorang Direktur menggantikan Jason Tay. Langkah pertama yang dia lakukan adalah belajar bahasa Mandarin, karena dia berfikir, dengan menguasai bahasa Mandarin, dia tidak akan mudah diperdaya. Sutardjo punya pengalaman, setiap kali dia diskusi dengan Jason, Direkturnya itu selalu berbicara dengan Dewi, sekretaris Direktur, dengan bahasa Mandarin yang dia tidak mengerti sama sekali. Terkadang Sutardjo berfikiran negatif terhadap pembicaraan Jason dan Dewi, bahwa dialah yang dibicarkan dalam percakapan itu. Pengalaman itulah yang memicu dia untuk belajar bahasa Mandarin. Menurut Sutardjo, paling tidak, kalau membeli Ipod abal-abal di Glodok dia akan mendapatkan diskon minimal 30%. Lumayan, begitu pikir Sutardjo setiap kali membayangkan dia fasih berbicara dalam bahasa Mandarin.

Setelah sedikit menguasai bahasa Mandarin, Sutardjo kemudian membeli buku yang berisi strategi perang Sun Tzu. Menurut dia, strategi perang Sun Tzu tersebut banyak digunakan oleh politikus setiap kali menjelang pemilu dan kebanyakan menghasilkan kemenangan yang gemilang. Menurut Sutardjo, bekerja adalah perang. Rekan kerja sebenarnya adalah musuh di bawah selimut. Oleh karena itu, rekan kerja yang berpotensi menjadi kompetitor harus disingkirkan terlebih dahulu untuk menduduki kursi Direktur. Dalam tiga bulan, Sutrajo sudah menghafal mati ke 36 strategi perang Sun Tzu.

Langkah pertama Sutardjo adalah dengan menerapkan strategi ke 10, 'Pisau tersarung dalam senyum'. Perilaku Sutardjo berubah drastis yang semula 'bawel' menjadi ramah dan penuh pujian. Setiap hari Sutardjo pasti memberikan pujian secara berlebihan kepada siapa saja, terutama kepada kompetitornya. Namun, dalam ruang meeting, begitu kompetitornya membuat sedikit saja kesalahan, Sutardjo langsung menyerang tiada ampun, menyalahkan dan memojokkan kompetitornya, sampai kencing darah. Lagak Sutardjo seakan-akan dia adalah seorang karyawan yang penuh tanggung jawab dan sangat loyal kepada perusahaan.

Dalam setiap kesempatan meeting atau diskusi ringan dengan Jason, Sutardjo selalu menerapkan strategi ke 12, 'Mencuri kambing sepanjang perjalanan'. Setiap pokok bahasan, ide baru yang muncul di meeting atau diskusi ringan tersebut, Sutardjo pasti akan memposisikan diri bahwa dialah pencetus ide tersebut. Alhasil, Jason semakin percaya dan meyakini bahwa Sutardjo adalah seorang karyawan yang resourcefully, pantas untuk diorbitkan.

Dalam aktifitas keseharian di kantor, Sutardjo menerapkan strategi ke 33, 'Biarkan mata-mata musuh menyebarkan konflik di wilayah pertahanannya'. Sutardjo selalu menugaskan kacungnya, Panggah, atau dia sendiri untuk menebarkan gossip dengan tujuan membuat semua rekan kerjanya saling curiga mencurigai. Strategi ke 33 ini sangat efektif dan menumbuhkan embrio perpecahan dan lahirlah kelompok-kelompok atau kubu di kalangan staff dan manager akibat dari strategi Sutardjo itu. Kondisi yang demikian semakin mempermudah Sutardjo memasuki setiap kubu dan membenturkan setiap kubu yang ada. Maka, tampaklah Sutardjo menjadi karyawan yang sangat fleksibel dan bisa memasuki setiap kelompok atau kubu. Ketika semua kelompok saling berbenturan, majulah dia sebagai pahlawan kesiangan di depan mata Jason dan Wong Karfai, sebagai seorang pengendali konflik.

Tahun keempat Sutardjo bekerja, akibat strategi ke 11, 'Pohon kecil berkorban untuk pohon besar', Sutardjo secara tidak langsung telah memecat dua orang manager, Manager HRD dan Manager Logistik, yang dia laporkan langsung ke Wong Karfai dengan alasan telah melakukan kesalahan pengeluaran dana tanpa otoritasnya sebagai Manager Internal Audit.

Pada suatu hari, ketika Wong Karfai meminta laporan EBITDA dalam satu tahun terakhir kepada Palgunadi, Manager Accounting, yang dia baca melalui print out email Wong Karfai di atas meja Palgunadi pada saat Palgunadi pergi ke toilet, Sutardjo langsung menerapkan strategi ke 25, 'Gantikan balok dengan kayu jelek'. Dengan cara mengintervensi Palgunadi dengan kapasitasnya sebagai Internal Auditor dengan cara memberikan metode yang tidak lazim dengan mengatas namakan Wong Karfai. Sutardjo meminta Palgunadi untuk membuat laporan EBITDA dengan metoda dia yang sudah dia buat dalam sebuah file Excel dengan alasan bahwa Wong Karfai lah yang membuat template laporan EBITDA tersebut. Dengan cara itu, Palgunadi sukses dimaki-maki oleh Wong Karfai dan menghancurkan mental Palgunadi karena dianggap tidak cakap dalam pekerjaannya sebagai Manajer Accounting. Pada saat itulah, Sutardjo kemudian membuat laporan EBITDA yang standard. Kali ini, Sutardjo berhasil menarik perhatian Wong Karfai melebihi ketertarikannya kepada Jason dan manager lain.

Pada tahun keempat tersebut, sebenarnya, Sutardjo sudah ingin sekali menyerang Jason dalam sebuah kesempatan meeting dengan Wong Karfai ketika Jason salah dalam membuat rencana kerja untuk tahun berikutnya. Akan tetapi dia kembali merenungkan strategi ke 15, 'Permainkan harimau untuk meninggalkan sarangnya'. Sutarjo sadar, belum saatnya untuk menjatuhkan Jason. Posisi Jason masih kuat.

Sambil mengulur waktu dan mencari kelemahan Jason, Sutardjo kemudian sering membuat laporan lewat email mengenai kemajuan perusahaan kepada Jason Tay, yang sebenarnya bukan porsi dia, dan mengirimkan BCC kepada Wong Karfai. Dengan cara itu, secara perlahan, Jason terkesan lambat mengirimkan laporan kepada Wong Karfai. Sementara itu, pada saat yang bersamaan Jason merasa senang selalu mendapatkan laporan dari Sutardjo hampir setiap hari. Jason tidak menyadari, informasi sudah lebih dahulu diterima oleh Wong Karfai, sementara itu, Jason biasanya membuat laporan kepada Wong Karfai selalu di hari Jumat setiap minggunya.

Tahun ke lima bekerja, Sutardjo berencana menjatuhkan Jason untuk menduduki kursi Direktur. Sutardjo sangat berhati-hati dengan rencana tersebut dan sadar akan segala resikonya. Namun dia tetap berniat tetap melanjutkan rencananya dengan berpegang pada strategi ke 36, 'Jika seluruhnya gagal, mundur'. Sutardjo berfikir, kalaupun gagal, paling banter cari kerja yang lain, 'gitu aja kok report', gumannya.

Postingan Populer