Panas Tahi Ayam : JW Marriott 1808

Dua kali sudah hotel JW Marriott di bom oleh teroris yang motifnya tidak masuk akal ditinjau dari hukum positip, tapi dibenarkan oleh komunitas mereka. Dalam hal ini, kebenaran menjadi relatif. Namun , yang pasti kejadian tersebut telah merugikan bangsa ini dan pelaku harus dihukum dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pertanyaannya adalah, kenapa JW Marriott mengalami kejadian yang sama, di bom, sampai harus dua kali ?. Bagaimana bisa aparat keamanan bisa kecolongan sampai dua kali. (Saya punya teka-teki, binatang apa yang bisa dua kali jatuh ke dalam lubang yang sama ?). Begitu bom meledak, yang saya saksikan di televisi, saya teringat pada penumpang pesawat terbang komersil. Siapapun, baik dia preman kelas kakap, pembunuh berdarah dingin, koruptor, menteri (kecuali teroris) pasti tunduk pada aturan, 'Dilarang Merokok'. Perokok berat sekalipun pasti akan menahan rasa asam di lidahnya dan harus duduk dengan gelisah berjam-jam selama penerbangan tanpa asap rokok. Penumpang, tanpa kecuali pasti tunduk pada aturan (lagi-lagi kecuali teroris), 'Gunakan Seat Belt' bila tanda penggunaan 'seat belt' telah dinyalakan. Bandingkan dengan penumpang di dalam metro mini. Meskipun ada aturan, tidak diperbolehkan merokok di tempat umum, tetap saja ada orang yang merokok di dalam metro mini tanpa memperdulikan aturan yang ada. Kenapa penumpang tunduk pada aturan di dalam pesawat terbang dan penumpang di dalam metro mini tidak ?. Jawabannya adalah, komitmen penerapan aturan dan sanksi berbeda jauh.

Salah satu kompleks industri di Batam menerapkan peraturan, di atas jam 8 pagi, semua mobil harus melalui jalan atau gerbang utama dan tidak diperbolehkan melalui jalan lain. Suatu waktu, saya diajak teman saya yang bukan lahir di negeri ini, seorang pengusaha yang hendak mengunjungi koleganya salah satu pabrik di dalam kawasan industri sekitar jam 10 pagi. Dia menyetir mobilnya memasuki kawasan melalui gerbang lain (bukan jalan utama). Saya menyarankan untuk melalui gerbang utama karena tidak akan diperbolehkan. Teman saya menjawab santai, 'Tenang saja, semua bisa diatur'. Begitu memasuki kawasaan, dia menurunkan kaca pintu mobil dan mengangkat 'handphone' dan berpura-pura sedang berbicara dan berlagak seperti orang penting. Benar saja, petugas keamanan diam tanpa berusaha untuk memberhentikan kami. Melihat teman saya dan mobilnya yang tergolong mahal, petugas keamanan langsung minder, kepercayaan dirinya runtuh seketika, matanya silau dengan kemewahan yang ada di depan matanya. Lantas petugaspun hanya diam ditempat tanpa berbuat apa-apa. Padahal, saya tahu persis teman saya itu seperti apa, tidak lebih dari maling yang membelanjakan uangnya di Singapura.

Mental petugas sedemikianlah yang digunakan oleh orang tertentu untuk mengeruk uang di negeri ini kemudian lari ke negeri lain. Hanya dengan memanfaatkan mobil mewah pinjaman, kedekatan dengan petinggi di negeri ini, maka dengan mudah mereka mencarikan pinjaman dari bank kemudian mendirikan pabrik yang bukan berdiri di tanah air ini.

Kita perhatikan pengawasan di pintu masuk mal atau hotel. Pemeriksaan dengan sungguh-sungguh baru dilakukan bila terjadi sesuatu yang merugikan atau adanya ancaman. Setelah bom bunuh diri di JW Marriot dan Ritz-Carlton, seluruh ibukota propinsi menurunkan aparat keamanan ke titik-titik tertentu dengan meningkatkan pengawaasan sehingga membuat masyarakat mendapatkan tontonan baru. Tetapi, saya yakin, lewat beberapa waktu kemudian (dalam hitungan bulan) pemeriksaan kembali hanya sekedar aktifitas tanpa kesungguhan. Panas-panas tahi ayam. Pengawasan ketat pun hanya dilakukan kepada orang yang berpenampilan biasa saja dan buat mereka yang mengenakan safari dan 'black berry' di tangan kiri dan kanan akan lewat begitu saja dari pemeriksaan. Bila tas yang dijinjingnya berbunyi di pintu detector, petugas akan memperbolehkan masuk hanya dengan mendengar satu kata yaitu, 'Laptop'.

Adalah, Soekarno yang mengatakan negeri ini bermental Inlander. Manusia yang bermental kuli dan babu. Lebih suka untuk dikendalikan oleh orang asing. Lebih suka merapat kepada orang kaya meskipun diperlakukan sepeti babu. Negeri ini pernah dijajah ratusan tahun karena dengan begitu mudahnya buat penjajah untuk mengadu domba hanya dengan iming-iming kekuasaan dan harta. Penjilat akan dengan ringan tangan memperlakukan sesamanya dengan tidak pantas asal bisa menjadi babu penjajah. Perhatikan sekeliling Anda dimana Anda bekerja. Kecenderungannya, teman-teman Anda akan berusaha, bagaimana mempunyai hubungan yang dekat dengan 'orang asing' atasannya. Pekerja penjilat akan dengan senang hati membersihakan dubur atasannya asalkan merasa nyaman di kursinya. Perhatikan pula, perempuan-perempuan yang bertingkah seperti perek asalkan mendapatkan pria bule!. Mereka tidak punya jati diri, lebih suka jadi babu !

Tidak ketinggalan musuh republik ini, Nurdin M Top yang dengan mudah meluluh lantahkan negeri ini, dengan merekrut dan mencuci otak anak bangsa untuk menjadi pejuang konyol yang rela bunuh diri. Belum lagi pekerja kita yang disiksa majikannya seperti binatang di Malaysia dan Timur Tengah. Miris, menyaksikan mereka disuruh jongkok sambil antri seperti manusia pesakitan di depan polisi Malaysia. Anda pasti pernah membaca di surat kabar, di Batam, pernah ditemukan warga Negara Singapura mempunyai KTP !. Bagaimana itu bisa terjadi kalau tidak karena uang !. Dasar mental babu !

Kembali ke standar operasional prosedur pengawasan di tempat umum, agar supaya kejadian di JW Marriot dan Ritz-Carlton tidak terulang lagi, semestinya pengawasan dilakukan secara konsisten dan tegas. Petugas keamanan harus mempunyai keyakinan diri bahwa mereka sejajar dengan setiap orang yang memasuki hotel. Mental Inlander harus dihancurkan. Bangsa ini harus menunjukkan jati diri, sejajar dengan manusia di permukaan bumi yang lain.

Jangan mau jadi babu !

Postingan Populer