Golput : Golongan Putih

Saya hanya seorang pria yang biasa saja dan serba biasa. Bukan seorang pesohor bukan pula seorang politisi. Tampang saya juga jauh dari kelasnya Brad Pitt dan kecil kemungkinan menjadi bintang sinetron. Saya pria yang sudah menikah dan punya anak dua, itupun saya masih tidak percaya diri mengatakan bahwa istri saya mencintai saya setulus hatinya. Saya bukan siapa-siapa

Saya pria yang mempunyai kehidupan yang kembang kempis. Saya bekerja di sebuah perusahaan dan mempunyai penghasilan 'tetap' yang bersifat sementara. Tetap tapi sementara, karena kapan saja bisa di phk dari perusahaan. Metode kerja saya adalah, pergi paling pagi pulang paling petang penghasilan pas pasan. Itupun masih harus bayar kredit rumah dengan bunga 14% per tahun dan kredit motor tentu dengan bunga. Belum lagi biaya untuk sekolah anak dan susu dan juga keperluan rumah tangga dan lain lain.

Dompet saya pasti tidak pernah berisi lebih dari seratus ribu. Selain uang yang tidak lebih dari seratus ribu, dompet saya juga menjadi tempat ATM, KTP, SIM dan NPWP. Meskipun saya pekerja yang termasuk dalam kategori 9P (Pergi Paling Pagi Pulang Paling Petang Penghasilan Pas Pasan) saya ternyata pembayar pajak juga. Hmmm….pembayar pajak.

Sudahkah Anda mempunyai NPWP ?. Saya tidak pernah bermuluk-muluk dengan kepemilikan NPWP, karena SPT tahunan saya paling juga berapa ?. Mungkin saja jumlahnya hanya sejumlah uang yang Anda habiskan untuk sekali ke restaurant untuk makan malam. Jadi, soal jumlah tidak perlu menjadi perdebatan atau pertanyaan. Satu hal yang membuat saya beruntung memiliki NPWP adalah, saya lebih berani untuk komplain kepada pemerintah karena sarana umum yang tidak membaik. Bayangkan, bila saya komplain kepada pemerintah sementara saya tidak pernah membayar pajak ?. Malu sekali bukan ?. Kemana saya harus sembunyikan wajah saya yang sudah pas pasan ini ?

Kalau semua warga Negara tidak bayar pajak, bagaimana bisa fasilitas umum di Negara ini menjadi lebih baik ?. Kalau semua memilih untuk golput dalam pemilihan presiden bulan Juli 2009 nanti, bagaimana bisa menciptakan pemerintahan yang berwibawa ?.

Golput atau golongan putih yang dicetuskan oleh Arief Budiman pada tahun 1973 sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan Presiden Suharto yang pada waktu itu sangat otoriter. Berbeda dengan golput sekarang ini timbul lebih dikarenakan anggapan bahwa memberikan hak suara adalah kesia-siaan yang tidak akan dapat menciptakan perubahan yang berarti.

Golput memang benar adalah pilihan juga. Memilih salah satu dari tiga pasangan presiden nanti adalah pilihan dan tidur di rumah sambil baca koran juga adalah pilihan. Tapi, haruskah hak konstitusi kita terbuang percuma ?.

Pada waktu saya masih duduk di bangku SMA Dago Bandung dan menjadi salah seorang panita pemilihan ketua OSIS, siswa yang memilih abstain lebih dikarenakan faktor tidak 'enak hati', karena semua calon ketua OSIS adalah teman akrab sehingga sulit untuk menentukan pilihan, meskipun pada waktu itu pemilihan ketua OSIS sudah berlangsung dengan jujur dan rahasia. Tentu hanya sedikit diantara kita yang mempunyai hubungan yang sangat dekat secara personal kepada ke tiga pasangan capres dan cawapres. Sehingga saya berani memastikan rasio golput yang diakibatkan karena 'tidak enak hati' akan tidak signifikan.

Dalam perjalanan dari bandara Sukarno-Hatta ke Bekasi beberapa waktu lalu, saya mendengar celotehan supir taxi yang saya tumpangi yang berniat tidak akan memberikan hak suaranya pada pemilihan presiden bulan Juli nanti karena alasan bahwa ke tiga pasangan yang berkompetisi tidak ada yang becus dan pasti tidak ada satu pasangpun dari tiga pasangan yang ada akan mampu membawa perubahan yang berarti 5 tahun kedepan. Kemudian saya bertanya, 'Darimana Bapak tahu bahwa siapapun yang akan terpilih tidak akan membawa perubahan ?'. Supir taxi tidak menjawab dan saya pun diam sampai ke tujuan.

Buat saya pribadi, ke enam orang yang menjadi kandidat adalah orang yang luar biasa dan bukan orang sembarangan. Mereka punya kompetensi dan itulah sebabnya mereka menjadi kandidat. Buktinya, saya tidak mampu menjadi kandidat presiden karena saya bukalah orang hebat seperti mereka. Katakanlah ke tiga pasangan tersebut memang benar-benar bukan pribadi yang baik. Bukankah lebih baik memilih salah satu diantara mereka yang mempunyai pribadi yang lebih baik ?. Katakanlah ke tiga pasangan tersebut adalah gerombolan para koruptor, bukankah lebih baik memilih salah satu dari mereka yang paling tidak korup ?. Katakanlah ke tiga pasangan tersebut adalah bajingan, bukankah lebih baik memilih salah satu yang 'kebajingannya' lebih rendah ?.

Paling tidak, dengan memilih kita bisa ikut berpartisipasi terhadap maju mundurnya Negara ini. Gunakan hak konstitusi Anda dan sudahkah Anda memiliki NPWP ?

Postingan Populer