Istri Dua, Dunia Ana Yang Punya

Emha Ainun Nadjib budayawan Jombang dalam sebuah bukunya menulis bahwa sex hanya persoalan selangkangan yang kebetulan berbulu. Apakah sex sedemikian sederhananya sehingga sex hanya sebatas selangkangan. Namun, kenapa sebagian orang mau dengan sengaja atau tidak sengaja mengorbankan bagian yang berharga yang dia miliki dengan cara perbandingan yang tidak 'seimbang' hanya untuk sex yang tidak lebih dari satu jam. Lantas , apa yang mendasari seorang Ainun Nadjib dengan sangat percaya diri mengatakan sex adalah persoalan sepele.

Sewaktu saya bekerja di Cikarang, saya menemui seorang manajer di salah satu perusahaan. Dia bercerita bahwa banyak salesman yang menawarkan kepada dia 'kunci kamar hotel dan perempuan' asal dia mau 'mengeluarkan purchase order'. Sebelum saya bertanya lebih jauh, dia sudah melanjutkan, bahwa dia tidak pernah mau dengan tawaran tersebut karena tidak seimbang. Bukan karena nilai 'purchase order' nya yang tidak seimbang dengan kunci kamar hotel dan perempuan, tetapi karena 'kenikmatan' yang ditawarkan hanya sesaat akan tetapi dibayar dengan sangat mahal. Anak, istri dan keluarga menjadi taruhannya.
Salah satu profesi yang paling tua di bumi ini adalah pelacuran. Karunia sex yang telah disalah gunakan sedemikian rupa sehingga begitu banyak contoh 'kehancuran' yang ditimbulkan yang bisa kita ambil sebagai contoh untuk kita jadikan pertimbangan. Yang semua itu berangkat dari ketidakmampuan mengendalikan diri terhadap keinginan akan sex.
Sex sudah menjadi sebuah komoditi dalam perdagangan lokal, regional dan global. Komoditi yang 'fast moving' dengan income yang menggiurkan. Dari perdagangan yang bersifat real maupun virtual. Lihat saja di internet, begitu banyak situs-situs yang menawarkan akses yang mengharuskan pengunjung untuk membayar terlebih dahulu. Belum lagi trafficking (perempuan) antar negara yang meningkat tajam untuk memenuhi 'demand sex' dengan tag product : 'Eastern Taste', 'Western Taste',' Jamaican Taste' (padahal sex 'adalah' selangkangan yang berbulu). Siapa yang patut dipersalahkan ? sex nya ?, fasilitator nya ?, penikmat nya ?, kemiskinan ? . Seperti Titik Puspa dalam lagunya 'Kupu-Kupu Malam'?. 'Berdosakah kami yang menunggu dan suci kah orang yang datang ?' . Saya tidak punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan Titik Puspa itu.
Salahkah Ahmad Dani, meskipun hanya dalam lagu yang sedikit 'nyerempet-nyerempet' genre dangdut melantunkan 'Punya istri dunia serasa dunia milik Ana, kalau istri tua marah pergi ke istri muda dan kalau dua-dua nya 'ngambek' Ana kawin lagi ?'. Kalau saya tidak salah tafsir, motivasi sedemikian tentu didasari pada kebutuhan akan sex yang berlebihan dan penghargaan yang 'kurang' terhadap perempuan. Persoalan salah atau tidak salah, Anda bisa memberikan pandangan sendiri. Sekali lagi, saya tidak punya kapasitas untuk itu.
Sudahlah !, biarkanlah Ahmad Dani and The Band berdendang, yang pasti sex adalah soal pikiran bukan soal rasa. Semakin liar, semakin addicted. Pikiran harus dikendalikan dengan bijaksana agar supaya pikiran dapat 'menggenerate' perilaku-perilaku yang terkendali pula, perilaku yang terkendali akan 'menggenerate' kebiasaan yang terkendali dan kebiasaan yang terkendali akan 'menggenerate' budaya yang terkendali.
Merujuk pada lagunya Ahmad Dani, apakah saya, agar supaya merasa dunia ini milik Ana harus punya istri dua?. Hooalah, jangankan istri dua, mau 'fesbuk' an saja harus FLASH ON 5000 lalu FLASH YA. Argggg !

Postingan Populer